Gudeg, hidangan khas Yogyakarta yang kaya rempah dan rasa manis gurih, menyimpan sejarah panjang yang menarik. Selain sebagai makanan, gudeg juga memiliki makna budaya yang mendalam bagi masyarakat Yogyakarta. Gudeg seringkali dikaitkan dengan keramahan, kesabaran, dan ketelatenan, yang merupakan nilai-nilai luhur masyarakat Jawa. sejarah gudeg Yogyakarta adalah cerminan sejarah dan budaya masyarakat Jawa. Gudeg bukan hanya sekadar makanan, tetapi juga merupakan warisan budaya yang perlu dilestarikan. Meskipun asal-usul pastinya masih menjadi misteri, ada beberapa teori yang berusaha mengungkap sejarah lezat ini.
- Zaman Kerajaan Mataram Islam: Beberapa sumber menyebutkan bahwa gudeg sudah ada sejak zaman Kerajaan Mataram Islam. Hal ini didasarkan pada ketersediaan bahan baku seperti nangka muda dan kelapa yang melimpah di sekitar wilayah kerajaan.
- Serat Centhini: Sebuah karya sastra Jawa kuno, Serat Centhini, diperkirakan menyebutkan gudeg sejak abad ke-16 atau 17. Ini menunjukkan bahwa gudeg sudah dikenal jauh sebelum Kesultanan Yogyakarta berdiri.
- Penyerbuan Batavia: Ada pula teori yang mengaitkan gudeg dengan pasukan Sultan Agung yang pernah menyerang Batavia pada abad ke-17. Namun, teori ini masih memerlukan bukti yang lebih kuat.
Gudeg punya sejarah panjang. Jenis makanan ini bahkan sudah ada sebelum Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta berdiri. Konon, resep gudeg ditemukan pada masa Panembahan Senopati (1587-1601), pendiri Kesultanan Mataram Islam yang juga kakek Sultan Agung.
Saat hendak mendirikan Kesultanan Mataram Islam, Panembahan Senopati harus membuka hutan belantara yang dikenal sebutan Alas Mentaok. Para prajurit dan kaum pekerja bersama-sama membabat hutan yang kelak bernama Yogyakarta ini. Ternyata, di hutan ini banyak terdapat pohon nangka dan pohon kelapa.
Salah satu ciri khas gudeg adalah proses pembuatannya yang cukup lama dan membutuhkan kesabaran. Nangka muda dimasak bersama santan, kelapa, dan berbagai rempah-rempah hingga menghasilkan warna cokelat kehitaman dan rasa yang khas. Proses memasak yang berlama-lama inilah yang membuat gudeg memiliki cita rasa yang kaya dan unik Nangka muda dan kelapa itu kemudian diolah untuk santapan bersama. Nangka muda dimasak dengan santan dari kelapa ditambah gula aren, berbagai macam bumbu, serta rempah-rempah, di dalam kuali besar yang diaduk-aduk dengan menggunakan sendok besar mirip dayung.
Supaya merata, dikutip dari buku Kuliner Yogyakarta: Pantas Dikenang Sepanjang Masa (2017) suntingan Murdijati Gardjito dan kawan-kawan, masakan itu diaduk dengan memutar-mutar sendok besar tersebut. Maka, tercetuslah istilah hangudeg yang berarti “diaduk-aduk” sehingga makanan tersebut pada akhirnya dikenal dengan sebutan gudeg.
Meskipun kadung lekat dengan Yogyakarta, namun gudeg juga cukup akrab di Surakarta. Seperti diketahui, Kesultanan Mataram Islam yang didirikan Panembahan Senopati nantinya terbelah menjadi dua kerajaan besar, yakni Yogyakarta dan Surakarta, ditambah dua wilayah khusus lainnya, yaitu Mangkunegaran dan Pakualaman.
Varian Gudeg Jogja
- Gudeg Basah: Ciri khas: Disajikan dengan kuah areh yang santan kental, gurih, dan sedikit manis. Tekstur nangka muda masih terasa lembut. Penyajian: Biasanya disajikan dengan nasi putih hangat, lauk seperti ayam kampung, telur pindang, krecek, dan sambal goreng krecek.
- Gudeg Kering: Ciri khas: Kuah areh lebih sedikit dibandingkan gudeg basah, sehingga teksturnya lebih kering dan padat. Penyajian: Seringkali disajikan dengan nasi hangat atau lontong. Rasa gurih dan manisnya lebih terasa karena bumbu meresap sempurna ke dalam nangka.
- Gudeg Manggar: Ciri khas: Menggunakan bunga kelapa muda sebagai bahan utama. Teksturnya lebih kasar dan berserat dibandingkan nangka muda. Kelebihan: Cocok untuk penderita maag karena tidak mengandung banyak gas dan rasanya tidak terlalu manis.
- Gudeg Mercon: Ciri khas: Ditambahkan cabai rawit yang sangat banyak sehingga rasanya sangat pedas. Untuk pecinta pedas: Varian ini cocok bagi Anda yang menyukai sensasi pedas yang nendang.
Semoga Bermanfaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar