Oleh: Winarto
Dahulu, pernah ada perdebatan antara guru dan murid tentang dari mana datangnya rezeki. Sang guru, Malik Ibn Anas berpandangan bahwa rezeki datang tanpa sebab, cukup bertawakkal maka Allah akan mendatangkannya. Sementara muridnya, Abu Abdullah Muhammad asy-Syafi'i atau yang dikenal dengan nama Syafii berpendangan bahwa rezeki harus dicari, seseorang harus berusaha untuk mendapatkannya.
Imam Malik dan Imam Syafii adalah guru dan murid yang kemudian menjadi ulama besar. Mereka melahirkan mazhab fikih (hukum Islam), Maliki dan Syafii.—dua di antara empat mazhab yang besar dan bertahan sampai saat ini. Dua aliran lainnya adalah Hanafi yang mengacu kepada Imam Hanafi, dan Hambali yang merujuk kepada nama Imam Ahmad bin Hambali.
Sebagai guru dan murid, Imam Maliki dan Imam Syafii tidak jarang berbeda pandangan mengenai ketentuan fikih suatu masalah, termasuk soal rezeki. Sang guru berpendapat, bahwa rezeki itu datang tanpa sebab. Seseorang cukup bertawakkal dengan benar, niscaya Allah akan memberinya rezeki."Lakukan yang menjadi bagianmu, selanjutnya biarkan Allah mengurus lainnya," demikian pendapat Imam Malik. Imam Malik menyandarkan pendapatnya itu berdasarkan sebuah hadis Rasulullah
:لَو أنكُم توكَّلْتُم علَى اللهِ حقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُم كما يَرْزُقُ الطَّيْرَ تغدُو خِمَاصًا وتَروحُ بِطَانًا
"Andai kalian bertawakkal kepada Allah sebenar-benar tawakkal niscaya Allah akan berikan rezeki kepada kalian, sebagaimana Dia memberikan rezeki kepada burung yang pergi dalam keadaan lapar lalu pulang dalam keadaan kenyang". (H.R. Ahmad)
Namun sang murid, Imam Syafii memiliki pandangan lain, bahwa untuk mendapatkan rezeki dibutuhkan usaha dan kerja keras. Rezeki tidak datang sendiri, melainkan harus dicari dan didapatkan melalui sebuah usaha. Beliau mengemukakan pendapat kepada sang guru. "Ya Syeikh, seandainya seekor burung tidak keluar dari sangkarnya, bagaimana mungkin ia akan mendapatkan rezeki?" kata Imam Syafii. Guru dan murid itu bersikukuh pada pendapatnya masing-masing. Hingga satu saat, saat Syafii sedang berjalan-jalan, dia bertemu dengan serombongan orang sedang memanen buah anggur. Syafii pun ikut membantu mereka.
Setelah pekerjaan selesai, Syafii mendapatkan beberapa ikat buah anggur sebagai imbalan jasa dari pekerjaannya membantu para petani.Imam Syafii amat senang. Dia gembira bukan karena mendapatkan beberapa ikat anggur. Namun dia telah memperoleh bukti yang bisa digunakan sebagai alasan untuk disampaikan kepada gurunya jika pendapatnya itu benar. Rezeki harus dicari. Syafii kemudian menemui Imam Malik yang sedang duduk santai. Sambil meletakkan seluruh anggur yang didapatkannya, Imam Syafii berkata mengenai pengalamannya tersebut.
“Seandainya saya tidak pernah keluar untuk ikut memanen, tentu saja anggur itu tidak akan pernah sampai ke tangan saya.”Mendengar dalil muridnya, Imam Malik hanya tersenyum. Dia mengambil anggur itu dan mencicipinya. Sembari berucap pelan, “Sehari ini aku memang tidak keluar pondok. Hanya mengambil tugas sebagai guru dan sedikit berpikir, alangkah nikmatnya dalam hari yang panas ini aku bisa menikmati anggur. Tiba-tiba engkau datang sambil membawa beberapa ikat anggur untukku”.
Imam Syafii langsung tertawa mendengar penjelasan tersebut. Kedua guru dan murid itu kemudian tertawa bersama. Mereka mengambil dua hukum yang berbeda dari hadis yang sama.
Dari kisah tersebut kita bisa mengambil hikmahnya, bahwa beda pendapat itu adalah hal yang wajar, dan kta sebagai hamba yang beriman dapat melihat dari sudut pandang yang berbeda. Perbedaan harus dapat kita sikapi secara cerdas. Jangan merasa kita yang paling benar, namun justru sebaliknya kita harus banyak belajar untuk dapat melihat dari sudut pandang mana suatu permasalahan tersebut kita lihat.
Semoga bermanfat...!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar